KILASJATENG.ID- Direktur The Indonesia Intelligence Institute, Ridlwan Habib, menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap kondisi keamanan siber Indonesia yang dinilai semakin rentan. Menurutnya, maraknya situs yang mengarah pada kekerasan, radikalisme, dan ekstremisme menunjukkan betapa terbukanya ruang digital terhadap ancaman yang berpotensi menimbulkan kekerasan di dunia nyata.
“Banyak celah dalam regulasi. Indonesia punya beberapa aturan ITE, tetapi belum ada undang-undang yang benar-benar mengatur keamanan siber secara menyeluruh,” ujar Ridlwan.
Ridlwan menegaskan bahwa setiap lembaga kini memiliki unit sibernya masing-masing Polri punya Cybercrime, Kementerian Komunikasi dan Digital memiliki unit pengawasan siber, Kejaksaan juga memiliki perangkatnya, begitu pula lembaga lain. Namun belum ada satu payung koordinasi yang menyatukan seluruhnya.
Saat ini, DPR RI tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber sebagai fondasi hukum yang akan memberikan mandat dan kewenangan koordinatif lintas sektor. RUU ini diharapkan dapat memperkuat pertahanan Indonesia dari ancaman digital yang terus berkembang.
Merujuk pada kasus bom rakitan yang melibatkan seorang siswa SMA 72, Ridlwan menilai insiden ini menunjukkan betapa mudahnya anak muda terpapar konten ekstrem di internet.
“Ia terinspirasi tokoh ekstrem lalu mempraktikkannya. Ini alarm keras bagi kita semua,” tegasnya.
Ia mendorong sekolah untuk aktif melakukan pendampingan, memperkuat layanan konseling, serta membuka ruang komunikasi yang aman bagi siswa. Guru juga diharapkan lebih proaktif, sementara pemerintah perlu membangun sinergi dengan Kemendikbud, Komisi Perlindungan Anak, Komdigi, hingga Kementerian Sosial untuk memperkuat upaya pencegahan.

Ridlwan menilai definisi radikalisme di Indonesia masih bias, sehingga kerap tumpang tindih dengan aturan KUHP maupun regulasi digital lain. Ia menekankan perlunya pedoman yang lebih jelas agar penindakan tidak tumpang tindih dan perlindungan terhadap anak serta remaja dapat berjalan efektif.
Dalam konteks pencegahan, Ridlwan menyebut orang tua memegang peran sangat penting. Mereka harus memahami literasi digital, mengenali tanda-tanda paparan ekstremisme, dan aktif berkomunikasi dengan anak.
“Jangan hanya guru yang dilatih literasi digital. Orang tua juga harus dibekali,” katanya.
Namun demikian, ia menyadari bahwa banyak anak muda cenderung mengabaikan nasihat yang datang dari orang tua. Karena itu, ia mendorong model edukasi melalui teman sebaya, terutama bagi generasi Z yang dinilai lebih responsif terhadap tokoh seusia mereka.
“Gen Z sangat cocok menjadi agen perubahan. Mereka lebih didengar oleh teman-temannya,” ujar Ridlwan.
Edukasi berbasis komunitas sebaya dinilai efektif untuk menyebarkan narasi positif dan menangkal propaganda ekstrem yang banyak beredar di media sosial.
[irp posts=”9675″ ]
Hasibullah dari FKUB Muda DIY menambahkan bahwa anak muda membutuhkan ruang konsultasi yang jelas. “Sering kali kami bingung hendak melapor ke mana ketika menemukan masalah. Karena itu kolaborasi dan partisipasi dalam membangun dunia digital yang aman sangat penting,” katanya.
Ia berharap generasi muda dapat terus menjadi agen perdamaian, ikut menjaga ruang digital, dan berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk memastikan keamanan NKRI.
Dalam pemaparannya, Ridlwan juga menyinggung meningkatnya ketidakstabilan geopolitik dunia: mulai dari perang Ukraina dan Rusia, eskalasi Palestina, Israel, Lebanon, Iran, konflik China Taiwan, hingga memanasnya India dan Pakistan. Kondisi global yang “uncertain, chaotic, and volatile” ini menurutnya akan berdampak langsung pada situasi keamanan Indonesia.
Ancaman bagi tanah air meliputi potensi sengketa di Laut Natuna, meningkatnya serangan siber, konflik komunal, melemahnya kerjasama keamanan ASEAN, hingga risiko radikalisasi akibat dinamika Gaza.
Di sisi lain, ia mengungkap temuan mengenai menurunnya jangkauan media Islam moderat di ruang digital yang kini kalah oleh media beraliran keras, sehingga makin memperbesar ruang propaganda ekstrem.
Ridlwan menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan intelijen yang kuat, ketahanan informasi yang solid, dan literasi digital yang lebih merata agar masyarakat tidak mudah terpapar hoaks maupun ideologi ekstrem.
“Ancaman semakin kompleks. Kita harus memperkuat benteng digital dan sosial kita,” pungkasnya.


