KILASJATENG.ID – Tarif resiprokal 19% yang diterapkan Amerika Serikat terhadap Indonesia sejak 7 Agustus 2025 lalu telah berjalan, dampaknya terhadap ekspor Indonesia belum terasa signifikan. Pemerintah kini tengah berupaya menekan dampak tersebut melalui negosiasi.
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada keluhan berarti dari eksportir terkait kebijakan tersebut. “Kan mereka sudah prepare dari awal dan memang sebagian juga sudah front-loading kan,” ujarnya di Jakarta, Kamis (28/8/2025), merujuk pada strategi pengiriman awal yang dilakukan eksportir.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan total ekspor pada kuartal II-2025 tumbuh 10,67% *year-on-year*, melampaui kuartal II-2024 yang hanya tumbuh 8,13%. Namun, pemerintah mewaspadai potensi dampak lanjutan.
Susiwijono menjelaskan bahwa waktu pengiriman barang ke AS membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga efek tarif baru akan terasa sekitar 7-8 September 2025. “Shipment ke sana kan bisa 2-3 minggu sampai sebulan kan. Baru kelihatan. Makanya sebelum sampai ke situ kita harus kejar dulu nih,” katanya.
Untuk mengantisipasi dampak yang lebih besar, pemerintah aktif melakukan negosiasi dengan AS, berupaya mendapatkan pengecualian tarif bagi ratusan komoditas ekspor unggulan Indonesia. Pemerintah optimis negosiasi ini akan berhasil.
Dengan pengecualian tarif, pemerintah berharap dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2025 pada tren 5%, seperti yang tercapai di kuartal II-2025 yang tumbuh 5,12%. “Ya kita sih optimis. Berbagai upaya sedang kita lakukan,” tegas Susiwijono, seraya menambahkan bahwa stimulus ekonomi yang sempat tertunda juga akan segera digulirkan. (SXI)