KILASJATENG.ID– Kepala Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Kulit, Karet, dan Plastik (BBSPJIKKP) Kementerian Perindustrian, Hagung Eko Pawoko, menyampaikan bahwa industri kulit nasional memiliki potensi besar untuk terus berkembang dan bersaing di pasar global. Data dari BPS menunjukkan bahwa produk domestik bruto (PDB) industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki tumbuh sebesar 6,95%. Selain itu, nilai ekspor industri kulit pada periode Januari–Maret 2025 mencapai USD 2,26 miliar atau naik 12,25% dari periode yang sama tahun lalu.
“Namun demikian, industri ini masih menghadapi sejumlah tantangan mendasar, khususnya terkait ketersediaan bahan baku kulit di dalam negeri,” ungkap Hagung di Yogyakarta, Senin (23/6) seperti rilis yang dikirim ke kilasjateng.
Lebih lanjut, Hagung menyampaikan bahwa salah satu kendala utama adalah minimnya suplai bahan baku dari dalam negeri, yang menyebabkan tingginya ketergantungan pada impor.
“Kebutuhan kulit untuk memenuhi semua pabrik penyamakan di Indonesia mencapai 20 juta lembar kulit sapi per tahun, sementara jumlah sapi yang dipotong di dalam negeri hanya sekitar 5 juta ekor, sehingga pasokan domestik hanya mampu memenuhi sebagian kecil dari kebutuhan industri,” terang Hagung.
Selain itu, Hagung juga menyoroti regulasi terkait impor bahan baku kulit yang menjadi tantangan lainnya. Larangan impor dari beberapa negara endemi penyakit mulut dan kuku (PMK) membatasi akses terhadap bahan baku berkualitas tinggi, sementara harga kulit impor dari negara-negara bebas PMK sering kali lebih mahal karena faktor logistik dan jarak pengiriman.
Dalam upaya menjawab tantangan tersebut, proyek ELEGTEC (Enhancing Sustainable and Green Leather Technology in Indonesia) diharapkan dapat menjadi salah satu jalan keluarnya. Proyek ini melibatkan pemerintah, asosiasi industri, dan pelaku usaha.
Pada pertemuan kedua Advisory Committee of ELEGTEC di BBSPJIKKP Yogyakarta, bulan Mei lalu, Mohammad Zainal Abidin, selaku perwakilan tim ELEGTEC menjelaskan tentang kemajuan pelaksanaan proyek yang dimulai secara resmi dengan pendanaan Erasmus+ pada 2024. Proyek ini terdiri dari beberapa Work Package (WP), di mana WP4 terkait pengembangan pusat peralatan dipimpin oleh UGM dan WP5 mengenai pelatihan serta summer course yang dipimpin oleh UNHAS.
“Tujuan dari proyek ini yakni mendirikan dari tiga center of excellent for sustainable and green leather technology di tiga universitas Indonesia yaitu UGM, UNHAS, dan UNRAM,” ujar Zainal yang juga dosen Fakultas Peternakan (Fapet) UGM itu.
Pusat ini nantinya akan menyediakan layanan pendukung bagi industri kulit, seperti pelatihan profesional, seminar tentang teknologi produksi modern, manajemen limbah, produksi berkelanjutan, strategi ekspor, konsultasi penerapan riset dan temuan baru, strategi relokasi, presentasi produk dan proses inovatif, kursus ekstrakurikuler bagi mahasiswa, pelatihan praktis dan penempatan kerja, serta pengembangan dan pengujian program pendidikan berkelanjutan dan aktivitas lainnya. Diharapkan, melalui proyek ELEGTEC ini, dapat terjadi peningkatan produksi bahan baku dalam negeri, pengoptimalan regulasi impor, serta pengembangan inovasi dalam proses penyamakan kulit agar lebih berkelanjutan dan kompetitif.
Dalam sesi diskusi Advisory Committee of ELEGTEC, hadir pula perwakilan dari Badan Karantina Indonesia (BARANTIN), Raden Nurcahyo, yang memberikan wawasan terkait kebijakan ekspor-impor bahan baku kulit dan bahan kimia penyamakan. Kesesuaian kode harmonized system (HS) antara dokumen dan fisik barang yang akan diimpor atau diekspor juga menjadi salah satu hal yang dibahas. Kode HS bahan baku kulit untuk kerajinan sebaiknya dibedakan dengan kulit yang digunakan untuk bahan pangan. Hal ini dikarenakan perlakuan impor untuk kedua bahan baku ini berbeda.
Sementara itu, perwakilan BBSPJIKKP, Heru Budi Susanto, menyampaikan usulan terkait persamaan persepsi definisi kulit dengan menggunakan acuan SNI 0391-2020: Kulit – Istilah dan definisi. Hal ini penting untuk menghindari kesalahpahaman dan memfasilitasi komunikasi yang efektif antar pemangku kebijakan.
Selanjutnya Asosiasi diharapkan ikut serta dalam pembahasan rancangan peraturan baru terkait importasi komoditas kulit dan produk kulit, sehingga seluruh point-point yang telah disepakati dapat dikawal dengan baik.*