KILASJATENG.ID- Munculnya Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang kesehatan menimbulkan penolakan di kalangan petani tembakau dan pekerja industri rokok dan tembakau. Pasalnya, jika betul-betul dijalankan, maka mereka akan terkena dampak negatifnya.
Penolakan tersebut mencuat dalam acara Ruang Rembug yang mengangkat tema “Dampak Polemik Regulasi Nasional Terhadap Ekosistem Pertembakauan Jawa Tengah” yang bertempat di Kulonuwun Kopi, Kamis 14 November 2024.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jateng, Nanang Teguh Sambodo meminta aturan yang tertuang RPMK bisa direvisi atau bahkan batal diberlakukan karena lebih banyak membawa dampak negatif bagi petani tembakau ketimbang positifnya.
Aturan yang dimaksud salah satunya mengenai pemberlakuan kemasan polos bagi semua merek rokok serta aturan kemasan yang minimal berisi 20 batang rokok. Nanang mengaku saat ini pun para petani sudah mulai merasakan dampaknya meski aturan tersebut masih dalam tahap pembahasan.
“Bahkan aturan belum diterapkan kami ini sudah terkena dampaknya karena semenjak industri rokok mengetahui akan ada kebijakan ini mereka mulai membatasi pembelian tembakau dari petani. Kalau dulu berani stok sekarang memilih mengurangi stok sambil menunggu perkembangan. Bagaimana nanti kalau benar-benar diterapkan,” ujarnya.
Padahal, lanjutnya, komoditas tembakau menjadi tumpuan hidup para petani tembakau lantaran mereka tidak bisa mengganti menanam tanaman lainnya. Apalagi di wilayah-wilayah yang selama ini memang dikenal sebagai sentra penghasil tembakau, sebab tanahnya sulit untuk budidaya jenis tanaman selain tembakau.
“Seperti di Temanggung, Wonosobo satu desa 85 persen menjadi petani tembakau karena dalam waktu empat bulan dalam satu tahun tanahnya tidak bisa ditanami tanaman lain karena membutuhkan air banyak, sedangkan tanaman tembakau mampu menahan air sehingga hanya bisa ditanami tembakau,” kata dia.
Dan jika industri rokok makin ditekan dengan diberlakukannya RPMK yang memiliki banyak aturan yang merugikan industri, ia khawatir serapan tembakau akan berkurang dan petani yang menjadi korban. Padahal di Jawa Tengah sendiri setidaknya setidaknya terdapat 450-600 ribu petani tembakau yang menggantungkan hidup di komoditas tembakau.
“Petani dan industri setali tiga uang. Kalau industri ditekan ya otomatis kami petani tembakau ikut terdampak. Padahal dari panenan tembakau itu ekonomi petani bisa berputar. Banyak yang setelah panen tembakau punya pinjaman di BRI, ingin menyekolahkan anak bisa berbagi dari itu,” ungkapnya.
Selain masalah kebijakan kemasan polos rokok, aturan yang mengharuskan kemasan rokok minimal berisi 20 batang juga dinilai akan merugikan industri. Pasalnya semakin banyak isinya otomatis harganya akan semakin mahal sehingga mengurangi daya beli masyarakat yang lagi-lagi berimbas pada industri rokok dan berujung pada petani.
“Intinya tadi, karena pembatasan yang ada serapan industri berkurang. Kalau serapan industri berkurang petani mau menjual kemana,” terangnya.
Kekhawatiran serupa juga diutarakan Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM) SPSI, Andreas Hua. Ia mengaku khawatir jika RPMK disahkan dan diberlakukan maka industri rokok akan semakin kesulitan menjual produknya. Dan saat pendapatan perusahaan berkurang maka buruh selalu menjadi korban.
“Kalau margin perusahaan makin kecil otomatis biayanya makin ditekan. Perusahaan yang menjadi sasaran utama adalah tenaga kerja. Upah setiap tahun naik, kalau pendapatan berkurang otomatis pekerja yang jadi korban,” ungkapnya.*