Kembangkan Agroforestri di Lereng Merapi, Pemuda Desa Mriyan Sukses Ciptakan Lapangan Kerja

oleh -325 Dilihat
Kopi Gumuk salah satu produk yang berhasil dikembangkan Kelompok Karya Muda Komunitas Petani Konservasi Dukuh Gumuk, Desa Mriyan, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Boyolali dari pohon kopi yang ditanam di lereng Gunung Merapi.
Kopi Gumuk salah satu produk yang berhasil dikembangkan Kelompok Karya Muda Komunitas Petani Konservasi Dukuh Gumuk, Desa Mriyan, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Boyolali dari pohon kopi yang ditanam di lereng Gunung Merapi. (Foti: dok. ist)

Kilasjateng.id Berangkat dari keprihatinan melihat nasib Anggrek Merapi yang hampir punah, Kelompok Karya Muda Komunitas Petani Konservasi Dukuh Gumuk, Desa Mriyan, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Boyolali berhasil membawa perubahan bagi lingkungannya. Khususnya dalam hal penciptaan lapangan kerja melalui agroforestri yang mereka kembangkan.

Ketua Kelompok Karya Muda Komunitas Petani Konservasi Dukuh Gumuk, Desa Mriyan, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Boyolali, Joko Susanto mengatakan, awal mula ia menginisiasi kelompok tersebut berangkat dari keprihatinan akan spesies anggrek yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi dimana kala itu terancam punah. 

“Kami kasihan waktu itu melihat anggrek Merapi itu sudah hampir punah. Sehingga saat itu kami bersebelas yang merupakan pemuda Desa Mriyan membentuk kelompok ini dan melakukan konservasi anggrek sejak 2016,” ungkapnya.

Agroforestri sendiri adalah metode menanam tanaman pangan dan tanaman hutan dalam satu lahan yang sama.  

Upaya tersebut pun membuahkan hasil. Dimana saat ini sudah ada puluhan pohon anggrek Merapi yang dikembangkan oleh kelompok warga Mriyan, Boyolali. Joko mengatakan saat ini sudah ada 23 varian yang berhasil dikembangkan di area Gunung Merapi. Termasuk Vanda tricolor.

“Jumlah variannya masih banyak yang belum dikembangkan, karena seharusnya varian anggrek Merapi ada lebih dari 130 jenis,” ujarnya. 

Saat ini, lanjutnya, ia bersama kawan-kawannya sedang merawat puluhan pohon anggrek di dalam sebuah green house berukuran 4 meter x 6 meter. Mereka merawat anggrek di tempat tersebut selama 1,5 hingga 2 tahun sebelum dilepasliarkan ke area Gunung Merapi. 

“Masyarakat juga bisa membeli anggrek-anggrek tersebut dari warga, tapi untuk dikembalikan ke Taman Nasional Gunung Merapi dan tidak bisa dibawa pulang. Tak hanya dirawat di green house, di lokasi konservasi tersebut juga ada laboratorium kultur jaringan untuk memperbanyak anggrek,” ucapnya. 

Joko mengakui, keberhasilan kelompoknya dalam mengembangkan anggrek Merapi tak luput dari pendampingan yang diberikan Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) Karanganyar dan pabrik AQUA Klaten. 

Diketahui, Dukuh Gumuk, Desa Mriyan, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Boyolali merupakan lokasi recharge area daerah penangkapan air awal pabrik AQUA Klaten.

“Sebelas orang dari kami itu enggak ada yang punya latar belakang pendidikan pertanian. Namun, dengan pendampingan yang diberikan LPTP dan AQUA Klaten, kami bisa melakukannya,” tukasnya.

Selain konservasi anggrek Merapi, kegiatan lainnya yang juga mendapat pendampingan dari LPTP dan AQUA Klaten adalah  budidaya kopi dan tanaman asli merapi seperti pohon Dadap Duri, salah satu favorit makanan untuk satwa lutung Jawa atau lutung Merapi yang banyak menampung air.

Joko mengatakan pada 2017 warga Desa Mriyan dibimbing untuk mengembangkan budidaya tanaman kopi di lereng-lereng Merapi di luar  kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. 

Selain untuk konservasi air dan mencegah longsornya tanah, menurutnya, dari tanaman kopi ini bijinya bisa diolah sendiri dengan memberdayakan pemuda-pemuda yang tinggal di Desa Mriyan. 

“Karenanya, alhamdulillah pemuda disini itu nggak ada yang merantau, nggak ada yang ke luar desa. Tetap masih konsisten dengan pekerjaannya sebagai tani, sebagai anak desa,” ucapnya.

Saat ini, para pemuda desa Mriyan ini bahkan sudah mendirikan Kedai Kopi Gumuk di desanya. Selain menyuguhkan kopi bertajuk “Gumuk Coffee” yang menjadi salah satu kuliner kopi yang wajib dicoba. Di kedai sederhana ini, kopinya dibuat dengan sentuhan soft fruity dan asam namun tidak menyengat serta tersaji dengan kacang dan pisang kepok rebus. Seruputnya menjadi lebih indah dengan hamparan langit yang seakan menyatu dengan desa. Gastronomi kuliner kearifan lokal yang sederhana namun membahagiakan.

Parli, salah satu barista dalam kedai Kopi Gumuk mengatakan dulu sebelum didampingi LPTP dan AQUA Klaten, kopi di desa Mriyan ini hanya dikonsumsi di rumah-rumah saja dan belum dikenal orang.  

“Tapi, dengan adanya pendampingan dari AQUA Klaten, kopi kita sekarang bisa dikenal di daerah-daerah lain. Apalagi kalau setiap Sabtu dan Minggu itu biasanya para gowes pada mampir minum kopi di Kedai Kopi Gumuk ini. Kami juga diberi pelatihan untuk bisa menjadi barista yang baik. Dari pelatihan itu, kami sudah bisa roasting kopi sekarang,” katanya.

 Hingga kini, kopi dari desa Mriyan ini sudah banyak dipesan dari daerah-daerah lainnya seperti Jakarta, Bandung, Jogja, dan Klaten.  

“Memang untuk saat ini, penghasilan dari kopi ini belum sebesar yang didapat masyarakat dari tembakau dan mawar. Tapi, kedepannya penghasilan dari kopi ini mungkin bisa sama. Yang penting, kita konsisten karena memang masih dalam tahap belajar bagaimana nanti bisa mengembangkan yang lebih baik lagi,” ujarnya.*

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News