Pemerintah melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menghapus kebijakan insentif harga gas industri yang selama ini mendapatkan harga khusus US$6 per MMBTU.
Dirjen Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengungkapkan, selain persoalan geopolitik, tingginya angka investasi di sisi hulu dan juga kenaikan biaya operasional memaksa sisi hulu menaikan harga. Sedangkan celah bagian sisi pemerintah makin menipis.
“Masing-masing lapangan (migas) itu kan kondisinya lapangan yang makin tua itu biayanya lebih besar. Sedangkan biaya yang besar itu juga tidak bisa dipotong lagi lebih banyak,” ujar Tutuka, Kamis (15/6/2023).
Menurut Tutuka, pemerintah berhati-hati dalam mengambil keputusan kenaikan harga gas untuk sektor industri, dengan mempertimbangkan keuntungan produsen gas bumi atau Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) dan kemampuan industri.
“Itu kita belum sisir satu per satu, hati-hati betul supaya bagaimana biaya dikurangi tidak mengurangi penerimaan KKKS sehingga harga masih paling minim dijangkau,” paparnya.
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Keputusan Menteri ESDM No. 91.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri yang berlaku sejak tanggal ditetapkan, 19 Mei 2023. Atas dikeluarkannya payung hukum tersebut maka harga gas di ujung pipa (plant gate) beberapa industri kenaikan dibandingkan dari harga sebelumnya.
Kesempatan berbeda, Dirut PT PGN Muhammad Haryo Yunianto mengatakan, kebijakan harga gas bumi tertentu sebesar US$6 per MMBTU sejatinya sudah mulai diberlakukan sejak 2020 hingga 2024. Adapun perusahaan telah melayani 100% dari total pelayanan.
Meski begitu, dengan adanya kebijakan harga gas khusus sebesar US$6 per MMBTU tersebut, terdapat potensi penurunan gross margin di subholding gas sebesar US$784 juta. “Dari BPKP sampai 2021 kemarin penurunan gross margin sekitar US$266 juta, tapi ini tetap kita melayani karena ini sudah ada alokasinya dan konsumennya,” ujarnya.